Kamis, 12 Desember 2013

Ketika Kenyamanan itu adalah Dunia Marjinal

Kamis, 1 November 2013. Sore itu saya berinisiatif untuk menjemput seorang nenek yang disinyalir membutuhkan bantuan. Kedatangan saya ke Pasar Bambu Kuning, sebuah pasar yang cukup terkenal di bandar lampung itu berdasarkan Instruksi dari teman saya yang saat itu akan mengantar nenek tersebut ke rumah sakit mata namun berhalangan hadir.
awal mula perkenalan teman saya dengan nenek tersebut saat ia melakukan kegiatan Berbagi Nasi beberapa waktu lalu. Teman saya menemukan nenek dalam keadaan yang memprihatinkan tengah tertidur dengan selimut yang menjalar keseluruh tubuhnya beralaskan kardus dan ditemani oleh 2 ekor kucing. Saat teman saya membangunkannya, nenek merasa senang karena ada yang datang dan memberinya sebungkus nasi. Keadaan fisik nenek kala itu sedang kurang sehat, badannya panas dan beliau juga bertutur kalau mata sebelah kanannya tidak dapat melihat, tangan kanannya kesleo, dan buang air kecil secara terus-terusan sehingga menimbulakn bau yang tidak sedap. Keesokan harinya teman saya tersebut menemui nenek dan membawakan diaper khusus manula untuk nenek serta mengajak dr. Ool untuk dapat memeriksa keadaan nenek yang sebenarnya agar cepat diberi penanganan. 
Setelah melakukan pemeriksaan ternyata mata sebelah kiri nenek mengalami katarak dan harus dioperasi. ada keanehan saat mereka mengunjungi mereka untuk yang kedua kalinya, nenek enggan diobati dan malah meminta uang kepada mereka. Namun mereka menolak permintaan nenek kemudian meninggalkan nenek dengan beberapa bungkus nasi.
mereka berinisiatif untuk membawa nenek ke rumah sakit mata berdasarkan informasi bahwa ada donatur yang siap membantu membiayai operasi katarak nenek dan akan menitipkan nenek di panti jompo. 

setelah sekitar 10 menit saya mencari-cari dengan menanyakannya kepada tukang parkir dan pedangan yang biasa berjualan namun mereka semua tidak mengetahui dimana keberadaan nenek. Mata saya terhenti ketika melihat seorang nenek yang sedang berjalan dengan ciri tubuh sangat kurus mengenakan pakaian yang lusuh membawa sebungkus plastic yang digantungkan di pundaknya. Dikarenakan saya belum pernah menemui nenek maka saya memilih untuk memerhatikan sambil memastikan apakah benar nenek tersebut adalah nenek yang dimaksud oleh teman saya. Setelah beberapa saat memperhatikan, saya yakin nenek tersebut adalah nenek yang saya cari maka dengan berani saya menemui beliau. Saat itu saya langsung menyapa dan memperkenalkan diri sebagai Adjeng, teman Ewi, saat itu nenek masih belum ingat siapa ewi sebelum saya mengatakan bahwa ewi adalah orang yang pernah membelikannya diaper manula waktu itu. Kemudian saya mengutarakan niat saya menemui nenek untuk mengajaknya perikasa mata secara keseluruhan di rumah sakit mata dan ingin menawari nenek untuk tinggal di panti jompo. namun raut wajah nenek berubah seketika itu juga, nenek langsung menolak dan berjalan meninggalkan saya. Saya tidak mengerti kenapa respon nenek sebegitu enggannya untuk dibawa ke rumah sakit, setelah saya ikuti dan memastikan nenek untuk duduk sebentar dan membicarakan alasan kenapa nenek menolak untuk dibawa ke rumah sakit, nenek mengatakan sesuatu kepada saya.
nenek sudah disini 14 tahun, nanti kalau nenek pergi orang-orang disini marah. Apalagi orang yang punya toko yang sering nenek tungguin, kalau nenek pergi tokonya malah sepi.”
Ungkapan nenek tersebut sungguh membuat saya bingung, ntah apa yang ada dipikiran beliau saat meyakini kalau toko tersebut ramai pembeli karena ada beliau yang menunggunya. Saya tetap berusaha membujuk nenek untuk ikut memerikasakan matanya saja namun apabila akan kembali lagi ke pasar itu saya pun tidak melarang, namun nenek tetap besikeras tidak mau memeriksakan matanya.
          “kalau neng mau bantu nenek kasih nenek uang aja berapapun nenek terima, buat beli obat sama makan cukup neng”
Miris, sedih dan ingin marah. Saat itu yang sedang saya rasakan, ketika uang merupakan orientasi kebahagiaan, ketika uang mengalahkan kenyamanan tinggal di tempat yang hangat dan fisik yang sehat. 
Mungkin menurut mereka  kenyamanan adalah merasa dikasihani, menerima pemberian secara Cuma-Cuma tanpa harus membalas budi maupun jasa. Kenyataan pedih itu ketika mereka memarjinalkan diri mereka sendiri. Tidak mudah merubah keyakinan yang sudah tertanam lama dari diri mereka apalagi lingkungan lah sebagai pendukung utama. Mungkin lebih baik jika kita memikirkan jalan yang lebih baik untuk mereka, memberi sedekah memang baik namun apakah akan selalu baik dikemudian hari? Kaum marjinal tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara, kita juga memiliki andil dalam memelihara mereka. Sudah saatnya kita menyelamatkan Negara mulai dari partikel terdasar sebuah bangsa, yakni lingkungan kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar