Kamis,
1 November 2013. Sore itu saya berinisiatif untuk menjemput seorang nenek yang
disinyalir membutuhkan bantuan. Kedatangan saya ke Pasar Bambu Kuning, sebuah
pasar yang cukup terkenal di bandar lampung itu berdasarkan Instruksi dari
teman saya yang saat itu akan mengantar nenek tersebut ke rumah sakit mata
namun berhalangan hadir.
awal
mula perkenalan teman saya dengan nenek tersebut saat ia melakukan kegiatan Berbagi Nasi beberapa waktu lalu. Teman saya menemukan nenek dalam keadaan yang memprihatinkan
tengah tertidur dengan selimut yang menjalar keseluruh tubuhnya beralaskan
kardus dan ditemani oleh 2 ekor kucing. Saat teman saya membangunkannya, nenek
merasa senang karena ada yang datang dan memberinya sebungkus nasi. Keadaan
fisik nenek kala itu sedang kurang sehat, badannya panas dan beliau juga
bertutur kalau mata sebelah kanannya tidak dapat melihat, tangan kanannya
kesleo, dan buang air kecil secara terus-terusan sehingga menimbulakn bau yang
tidak sedap. Keesokan harinya teman saya tersebut menemui nenek dan membawakan
diaper khusus manula untuk nenek serta mengajak dr. Ool untuk dapat memeriksa
keadaan nenek yang sebenarnya agar cepat diberi penanganan.
Setelah
melakukan pemeriksaan ternyata mata sebelah kiri nenek mengalami katarak dan
harus dioperasi. ada keanehan saat mereka mengunjungi mereka untuk yang kedua
kalinya, nenek enggan diobati dan malah meminta uang kepada mereka.
Namun mereka menolak permintaan nenek kemudian meninggalkan nenek dengan beberapa
bungkus nasi.
mereka berinisiatif untuk membawa nenek ke rumah sakit mata berdasarkan informasi bahwa
ada donatur yang siap membantu membiayai operasi katarak nenek dan akan
menitipkan nenek di panti jompo.
setelah sekitar 10 menit saya mencari-cari
dengan menanyakannya kepada tukang parkir dan pedangan yang biasa berjualan
namun mereka semua tidak mengetahui dimana keberadaan nenek. Mata saya terhenti
ketika melihat seorang nenek yang sedang berjalan dengan ciri tubuh sangat
kurus mengenakan pakaian yang lusuh membawa sebungkus plastic yang digantungkan
di pundaknya. Dikarenakan saya belum pernah menemui nenek maka saya memilih
untuk memerhatikan sambil memastikan apakah benar nenek tersebut adalah nenek
yang dimaksud oleh teman saya. Setelah beberapa saat memperhatikan, saya yakin
nenek tersebut adalah nenek yang saya cari maka dengan berani saya menemui
beliau. Saat itu saya langsung menyapa dan memperkenalkan diri sebagai Adjeng, teman Ewi, saat itu nenek masih belum
ingat siapa ewi sebelum saya mengatakan bahwa ewi adalah orang yang pernah
membelikannya diaper manula waktu itu. Kemudian saya mengutarakan niat saya
menemui nenek untuk mengajaknya perikasa mata secara keseluruhan di rumah sakit
mata dan ingin menawari nenek untuk tinggal di panti jompo. namun raut wajah
nenek berubah seketika itu juga, nenek langsung menolak dan berjalan
meninggalkan saya. Saya tidak mengerti kenapa respon nenek sebegitu enggannya
untuk dibawa ke rumah sakit, setelah saya ikuti dan memastikan nenek untuk
duduk sebentar dan membicarakan alasan kenapa nenek menolak untuk dibawa ke
rumah sakit, nenek mengatakan sesuatu kepada saya.
“nenek sudah disini 14 tahun, nanti kalau
nenek pergi orang-orang disini marah. Apalagi orang yang punya toko yang sering
nenek tungguin, kalau nenek pergi tokonya malah sepi.”
Ungkapan
nenek tersebut sungguh membuat saya bingung, ntah apa yang ada dipikiran beliau
saat meyakini kalau toko tersebut ramai pembeli karena ada beliau yang
menunggunya. Saya tetap berusaha membujuk nenek untuk ikut memerikasakan
matanya saja namun apabila akan kembali lagi ke pasar itu saya pun tidak
melarang, namun nenek tetap besikeras tidak mau memeriksakan matanya.
“kalau
neng mau bantu nenek kasih nenek uang aja berapapun nenek terima, buat beli
obat sama makan cukup neng”
Miris,
sedih dan ingin marah. Saat itu yang sedang saya rasakan, ketika uang merupakan
orientasi kebahagiaan, ketika uang mengalahkan kenyamanan tinggal di tempat
yang hangat dan fisik yang sehat.
Mungkin menurut mereka kenyamanan adalah merasa dikasihani, menerima
pemberian secara Cuma-Cuma tanpa harus membalas budi maupun jasa. Kenyataan
pedih itu ketika mereka memarjinalkan diri mereka sendiri. Tidak mudah merubah
keyakinan yang sudah tertanam lama dari diri mereka apalagi lingkungan lah
sebagai pendukung utama. Mungkin lebih baik jika kita memikirkan jalan yang
lebih baik untuk mereka, memberi sedekah memang baik namun apakah akan selalu
baik dikemudian hari? Kaum marjinal tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara,
kita juga memiliki andil dalam memelihara mereka. Sudah saatnya kita
menyelamatkan Negara mulai dari partikel terdasar sebuah bangsa, yakni
lingkungan kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar