Rabu, 25 Desember 2013

Militan Muda Pembawa Perubahan

“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya,
berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” . (Bung Karno)



kutipan dari Bapak Soekarno tersebut bukan lah isapan jempol atau perkataan penyemangat belaka beliau mengatakan hal tersebut karena memang beliau percaya para pemuda dengan seluruh keunikan, kelabilan, serta keistimewaannya mampu membawa perubahan yang berarti bagi bangsa kita, Indonesia. 

Jum'at, 20 Desember 2013 adalah hari yang bersejarah untuk saya. Bukan Hanya di hari tersebut saya bisa naik pesawat untuk pertama kalinya tapi juga dimulainya perjuangan saya me-Nasionalkan Program Toys Charity for Autism. Ashoka Indonesia merupakan LSM yang menginisiasi terselenggaranya seleksi panelis  Young Changemakers yakni pertemuan para pemuda terpilih dari seluruh Indonesia yang memiliki Projek sosial dibidang kesehatan masyarakat. Walaupun ini adalah kompetisi namun tidak ada istilah menang dan kalah, semua projek sosial sudah baik namun projek sosial yang dipilih oleh juri panel berarti sudah siap untuk dijalankan bertaraf nasional dan yang belum dipilih masih harus mengembangkan projek sosialnya tersebut. Disana saya bertemu para militan muda yang siap mempromosikan Projek sosial yang telah di jalankan sebelumnya, bukan masalah uang maupun popularitas yang kami cari melainkan untuk satu tujuan besar yakni Membawa Harapan yang Lebih Baik Bagi Bangsa Indonesia.
 
Waktu menunjukkan pukul 16.15 pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Adisucipto, dengan disambut hujan yang cukup deras namun tetap sejuk dan terasa jenaka. Ah.. benar. Saya sudah berada di Jogja rupanya. Jogja menurut saya bukan sekedar letak geografis melainkan kerinduan akan cerita-cerita bahagia yang selalu menyelimutinya. Seleksi Panel dilaksanakan di Komplek Rifka Annisa Women Crisis Center yang ada di jalan magelang, cukup jauh dari Bandara adisucipto sekitar 30 menit perjalanan menggunakan taksi. Setelah sampai di jogja perasaan saya memang tidak tenang, saya berfikir untuk segera menyelesaikan tugas ini dan kembali ke Bandar Lampung. walaupun saya suka bertemu banyak orang dan hal-hal baru namun saya sangat benci kompetisi, aaaah!!!

 "Idup gue gak nyantai bet kalo udah bau-bau lomba giniaaaan...!!!!"

hahaha.. dalam hati saya bergumam demikian, saya belum memahami konsep bahwa ini bukan kompetisi yang mengharuskan kita untuk tampil sempurna didepan juri panel yang  terdiri dari orang-orang yang menuntut keprofesionalan kita baik secara penampilan, cara bicara dan sikap. Ditambah lagi saya akan bersaing dengan anak muda dari berbagai kota besar yang sudah saya baca CVnya dan sukses membuat saya makin rendah diri :( tapi jogja seperti aspirin yang mengobati sedikit demi sedikit kecemasan  yang saya rasakan, tiap sudut kota menyapa penuh hangat seraya berkata "Tenang-lah kantie, semua akan baik-baik saja"

Setelah tiba di Mess tempat saya menginap, perasaan saya berubah lebih tenang dan jauh lebih tenang lagi. Tempatnya nyaman dan berbeda dari yang saya banyangkan sebelumnya. Disana saya bertemu dengan Ainum Jariah asal Makassar dan Dinda Dewi Zalinda dari Surabaya. Saya tidak pernah membayangkan akan sekamar dengan pemudi-pemudi keren seperti mereka, Ainum dengan kepolosan dan kinerjanya dibidang Kesehatan Reproduksi Remaja Marjinal kota Makassar yang tidak bisa dipandang sebelah mata dan Mba Dinda si Cerdas yang menggunakan Bahasa Madura sebagai Akses masuk ke lingkungan massyarakat madura guna menyosialisasikan self hygine. Dibalik Track Record mereka yang luar biasa, mereka adalah teman ngobrol dan berbagi pengalaman yang seru. Sungguh kejutan besar dari Allah SWT.

21 Desember 2013, The day Has Come. hahahahaha saya tidak merasa deg-degan lagi nih. Tetap santai karena teman-teman sesama Panelis juga tidak menebarkan aura persaingan, mereka malah beranggapan bahwa ini liburan gratis yang sayang kalau dilewatkan :D
Saya mendapat urutan presentasi pertama, saya bertemu dengan 3 Juri Panel yang Amazing dan expert dibidang mereka masing-masing. Ada Mba Inna, Pak Totok dan Pak Teguh mereka keren dan menganggap saya sebagai teman ngobrol mereka bukan sebagai panelis yang harus mereka nilai. Saya sangat menikmati obrolan hangat dan bermakna itu, banyak sekali masukan-masukan yang mereka berikan kepada saya dan akan segera saya terapkan di Lampung.
 
Saya tidak berhenti berdecak kagum dengan salah satu panelis asal Sukoharjo bernama Leon. Dia sangat special karena dia adalah panelis termuda berusia 15 tahun namun sudah memiliki projek sosial yakni peduli sanitasi di kota Sukoharjo. Keberadaannya di tengah-tengah kami membuat kami semua berfikir sedang berbuat apa ya ketika umur kami 15 tahun? hehehe
semua Panelis maupun panitia berbaur menjadi satu, semua saling berbincang dan bertukar pengalaman tentang kegiatan sosialnya masing-masing. Semua seperti teman baik yang terpisah jarak  Kota namun memiliki satu misi dan tujuan, yakni berinovasi kecil-kecilan namun berdampak besar Bagi Bangsa ini.
 
Sungguh Berkah Akhir tahun yang Luar biasa telah Allah berikan kepada saya bertemu 18 Anak muda hebat aset bangsa Indonesia. Semoga kalian semua selalu di lindungi Allah serta diberikan kesejahteraan. Kelak pasti kita akan bertemu lagi teman-teman. Sukses yah :'D


 
( Seluruh kandidat Young Change Maker 2013 )


Jumat, 13 Desember 2013

Bahagia itu sederhana, ketika kita bisa bersyukur :)


Whoaaa… asalamu’alaikum.. selamat pagiiii…. Masih merasa bahagia kan? Alhamdulillah :D
Pagi ini saya ingin berbagi cerita dan cinta saya terhadap dunia disabilitas yang saya tekuni beberapa tahun terakhir ini. Ya Allah.. betapa mudahnya mereka membuat saya menghabiskan sebagian otak dan hati untuk berjalan, berkarya dan berbahagia bersama mereka.
Mengenal dunia disabilitas awalnya ketika saya bergabung bersama SNETS YCHI-Autism Center yakni organisasi non-profit yang membawa harapan lebih baik untuk bangsa Indonesia dalam penanganan Autisma. Autisma bagi saya sudah bukan hal yang asing lagi, saya memiliki sepupu yang mengidap autism juga. Tingkahnya aneh, sangat aktif, kadang lucu juga sih.. hehe tapi sayang, dia tidak mengerti apa yang saya bicarakan L
Semenjak bergabung sebagai therapist ABK dengan klinik SNETS banyak sekali pengalaman awesome yang tidak ternilai harganya. Saya banyak bertemu ABK dengan berbagai macam gangguan selain autisma seperti cerebral palcy, down syndrome, mental retardasi, dan speech delay. Walaupun mereka memiliki gangguan yang berbeda-beda namun satu kesamaan yang mereka miliki yakni cinta dan ketulusan. Pelaksanaan terapi setiap hari selama 1,5 jam membuat saya semakin mengenal karakter mereka satu persatu dan membuat saya semakin mencintai keberadaan mereka. Kami mungkin adalah guru mereka, namun sebenarnya kami lah yang banyak belajar dari mereka tentang bagaimana menjalain hidup dengan kebahagiaan yang sederhana. Terimakasih, Nak. You know how much I love you.

 kisah kedua saya adalah tentang silent world. Ya, dunia sunyi. Selain menjadi therapist saya juga menjadi salah satu interpret (penterjemah bahasa isyarat) di organisasi Gerkatin Bandar Lampung. Gerkatin adalah singkatan dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia jadi seluruh anggota organisasi adalah penyandang tunarungu wicara.
Tangan Tuhan yang mempertemukan kami. Saya tidak pernah berfikir sebelumnya akan bertemu dengan salah satu organisasi mengagumnya yang juga tidak terlumpuhkan oleh keterbatasan. Mereka juga tidak pernah mengutuk kegelapan yang menyelimuti mereka tapi menyalakan lilin merupakan jalan yang mereka ambil. Itulah sebab saya begitu mencintai deaf dan silent world, saya begitu merasakan cinta yang mereka isyaratkan kepada saya.
  
Lagi-lagi saya banyak belajar dari penyandang disabilitas. Mereka adalah sebaik-baiknya guru dalam mengaplikasikan sabar, syukur, dan mencintai Tuhan dan semesta dengan seluruh kelebihan dan kekurangan yang menjadi penyeimbangnya.

Kamis, 12 Desember 2013

Ketika Kenyamanan itu adalah Dunia Marjinal

Kamis, 1 November 2013. Sore itu saya berinisiatif untuk menjemput seorang nenek yang disinyalir membutuhkan bantuan. Kedatangan saya ke Pasar Bambu Kuning, sebuah pasar yang cukup terkenal di bandar lampung itu berdasarkan Instruksi dari teman saya yang saat itu akan mengantar nenek tersebut ke rumah sakit mata namun berhalangan hadir.
awal mula perkenalan teman saya dengan nenek tersebut saat ia melakukan kegiatan Berbagi Nasi beberapa waktu lalu. Teman saya menemukan nenek dalam keadaan yang memprihatinkan tengah tertidur dengan selimut yang menjalar keseluruh tubuhnya beralaskan kardus dan ditemani oleh 2 ekor kucing. Saat teman saya membangunkannya, nenek merasa senang karena ada yang datang dan memberinya sebungkus nasi. Keadaan fisik nenek kala itu sedang kurang sehat, badannya panas dan beliau juga bertutur kalau mata sebelah kanannya tidak dapat melihat, tangan kanannya kesleo, dan buang air kecil secara terus-terusan sehingga menimbulakn bau yang tidak sedap. Keesokan harinya teman saya tersebut menemui nenek dan membawakan diaper khusus manula untuk nenek serta mengajak dr. Ool untuk dapat memeriksa keadaan nenek yang sebenarnya agar cepat diberi penanganan. 
Setelah melakukan pemeriksaan ternyata mata sebelah kiri nenek mengalami katarak dan harus dioperasi. ada keanehan saat mereka mengunjungi mereka untuk yang kedua kalinya, nenek enggan diobati dan malah meminta uang kepada mereka. Namun mereka menolak permintaan nenek kemudian meninggalkan nenek dengan beberapa bungkus nasi.
mereka berinisiatif untuk membawa nenek ke rumah sakit mata berdasarkan informasi bahwa ada donatur yang siap membantu membiayai operasi katarak nenek dan akan menitipkan nenek di panti jompo. 

setelah sekitar 10 menit saya mencari-cari dengan menanyakannya kepada tukang parkir dan pedangan yang biasa berjualan namun mereka semua tidak mengetahui dimana keberadaan nenek. Mata saya terhenti ketika melihat seorang nenek yang sedang berjalan dengan ciri tubuh sangat kurus mengenakan pakaian yang lusuh membawa sebungkus plastic yang digantungkan di pundaknya. Dikarenakan saya belum pernah menemui nenek maka saya memilih untuk memerhatikan sambil memastikan apakah benar nenek tersebut adalah nenek yang dimaksud oleh teman saya. Setelah beberapa saat memperhatikan, saya yakin nenek tersebut adalah nenek yang saya cari maka dengan berani saya menemui beliau. Saat itu saya langsung menyapa dan memperkenalkan diri sebagai Adjeng, teman Ewi, saat itu nenek masih belum ingat siapa ewi sebelum saya mengatakan bahwa ewi adalah orang yang pernah membelikannya diaper manula waktu itu. Kemudian saya mengutarakan niat saya menemui nenek untuk mengajaknya perikasa mata secara keseluruhan di rumah sakit mata dan ingin menawari nenek untuk tinggal di panti jompo. namun raut wajah nenek berubah seketika itu juga, nenek langsung menolak dan berjalan meninggalkan saya. Saya tidak mengerti kenapa respon nenek sebegitu enggannya untuk dibawa ke rumah sakit, setelah saya ikuti dan memastikan nenek untuk duduk sebentar dan membicarakan alasan kenapa nenek menolak untuk dibawa ke rumah sakit, nenek mengatakan sesuatu kepada saya.
nenek sudah disini 14 tahun, nanti kalau nenek pergi orang-orang disini marah. Apalagi orang yang punya toko yang sering nenek tungguin, kalau nenek pergi tokonya malah sepi.”
Ungkapan nenek tersebut sungguh membuat saya bingung, ntah apa yang ada dipikiran beliau saat meyakini kalau toko tersebut ramai pembeli karena ada beliau yang menunggunya. Saya tetap berusaha membujuk nenek untuk ikut memerikasakan matanya saja namun apabila akan kembali lagi ke pasar itu saya pun tidak melarang, namun nenek tetap besikeras tidak mau memeriksakan matanya.
          “kalau neng mau bantu nenek kasih nenek uang aja berapapun nenek terima, buat beli obat sama makan cukup neng”
Miris, sedih dan ingin marah. Saat itu yang sedang saya rasakan, ketika uang merupakan orientasi kebahagiaan, ketika uang mengalahkan kenyamanan tinggal di tempat yang hangat dan fisik yang sehat. 
Mungkin menurut mereka  kenyamanan adalah merasa dikasihani, menerima pemberian secara Cuma-Cuma tanpa harus membalas budi maupun jasa. Kenyataan pedih itu ketika mereka memarjinalkan diri mereka sendiri. Tidak mudah merubah keyakinan yang sudah tertanam lama dari diri mereka apalagi lingkungan lah sebagai pendukung utama. Mungkin lebih baik jika kita memikirkan jalan yang lebih baik untuk mereka, memberi sedekah memang baik namun apakah akan selalu baik dikemudian hari? Kaum marjinal tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara, kita juga memiliki andil dalam memelihara mereka. Sudah saatnya kita menyelamatkan Negara mulai dari partikel terdasar sebuah bangsa, yakni lingkungan kita sendiri.